Identitas Individu dan Identitas Kelompok
Jenis dan Pembentukan Identitas
“Pancasila adalah jati diri bangsa
Indonesia”. Kita tentu sering mendengar atau membaca kalimat tersebut. Di sana
kita menemukan dua kata yang menjadi frase yakni jati dan diri. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati diri diartikan sebagai keadaan atau ciri
khusus seseorang. Padanan kata jati diri adalah identitas. Jadi, identitas dan
jati diri akan digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang
sama. Setidaknya, ada dua pendapat besar tentang bagaimana identitas itu
terbentuk.
Pertama, ada yang beranggapan bahwa
identitas itu given atau terberi. Identitas, dalam pandangan kelompok
ini, merupakan sesuatu yang menempel secara alamiah pada seseorang atau sebuah
grup. Seseorang yang dilahirkan memiliki ciri fisik tertentu, seperti berkulit
putih, bermata biru, berambut keriting adalah contoh tentang bagaimana kita
memahami identitas dalam diri sebagai sesuatu yang alamiah.
Kedua, identitas yang dipahami
sebagai hasil dari sebuah desain atau rekayasa. Bangunan identitas seperti ini
bisa dilakukan dalam persinggungannya dengan aspek budaya, sosial, ekonomi, dan
lainnya. Berbeda halnya dengan identitas yang secara alamiah melekat pada diri manusia,
identitas atau jati diri dalam pengertian ini, terlahir sebagai hasil interaksi
sosial antarindividu atau antarkelompok. Jati diri sebuah bangsa adalah contoh
bagaimana identitas itu dirumuskan, bukan diberikan secara natural.
4 Tipe Jati Diri |
Identitas individu adakalanya bersifat alamiah tapi juga bisa melekat karena hasil interaksi dengan individu dan kelompok lain. Begitu juga identitas kelompok. Ada identitas yang berasal dari sebuah interaksi dengan kelompok di luar dirinya, serta jati diri yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak uraian mengenai empat tipe jati diri tersebut.
Identitas Individu yang Alami
Saat ada bayi yang baru saja lahir, pertama-tama yang kita kenali tentu saja ciri-ciri fisiknya. Warna kulit, jenis rambut, golongan darah, mata, hidung dan sebagainya, adalah sebagian dari ciri yang melekat pada bayi tersebut. Ciri fisik seperti ini bisa kita sebut sebagai karakter atau identitas yang bersifat genetis. Ia melekat pada diri manusia dan dibawa serta sejak lahir. Ciri fisik manusia, sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka yang lahir dari rahim yang sama sekalipun, akan tumbuh dengan ciri fisik yang berbeda. Termasuk juga mereka yang terlahir kembar. Ada identitas fisik yang secara alamiah, membedakan dirinya dengan saudara kembarnya itu. Di luar karakter fisik, identitas individu juga bisa berasal dari aspek yang bersifat psikis. Misalnya, sabar, ramah, periang, dan seterusnya. Kita mengenali seseorang karena sifatnya yang penyabar atau peramah. Sebetulnya, sifat ini juga bisa menjadi ciri dari kelompok tertentu. Namun, pada saat yang sama, kita bisa mengenali seseorang dengan karakter-karakter tersebut.
Identitas Individu yang Terbentuk Secara Sosial
Selain karakter yang terbentuk
secara alamiah, kita bisa mengenali jati diri seseorang atau individu karena
hasil pergumulannya dengan mereka yang ada di luar dirinya. Dari interaksi itu,
lahirlah identitas individu yang terbentuk sebagai buah dari hubungan-hubungan
keseharian dengan identitas di luar dirinya. Identitas diri itu terbentuk bisa
karena pekerjaan, peran dalam masyarakat, jabatan di pemerintahan, dan
sebagainya. Salah satu contohnya adalah dalam hal pekerjaan. Kita mengenal
berbagai macam jenis pekerjaan. Guru dan peserta didik salah satu contohnya.
Seseorang menjadi guru karena ia menjalankan tugasnya untuk mengajar dan
menyebarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Ia sendiri tidak terlahir
otomatis sebagai guru, tetapi identitasnya itu didapatkan karena ada pekerjaan
yang dijalankannya. Peserta didik adalah murid-murid yang diajar, menerima
pengetahuan serta belajar bersama dengan guru. Identitas sebagai peserta didik
tidak melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang alamiah atau genetik. Peserta
didik adalah jati diri yang tercipta karena seseorang datang ke sekolah dan
mendaftarkan diri untuk menjadi murid di sekolah tertentu.
Identitas Kelompok yang Alami
Selain melekat pada individu, ada
juga identitas yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok. Jadi dalam suatu
kelompok, ada individu-individu yang menjadi anggotanya dan memiliki ciri yang
sama. Istilah ras atau race dalam bahasa Inggris, itulah salah satu
contoh bagaimana yang alamiah melekat kepada sebuah kelompok. Ras digunakan
untuk mengelompokkan manusia atas dasar lokasi-lokasi geografis, warna kulit
serta bawaan fisiologisnya seperti warna kulit, rambut, dan tulang. Ada banyak
yang berpendapat tentang penggolongan ras ini. Salah satunya adalah
penggolongan ras dalam lima kelompok besar yaitu “ras Kaukasoid”, “ras
Mongoloid”, “ras Etiopia” (yang kemudian dinamakan “ras Negroid”), “ras
Indian”, dan “ras Melayu.” (Blumenbach dalam Schaefer, 2008).
Identitas Kelompok yang Terbentuk secara Sosial
Selain terbentuk secara alamiah, jati diri sebuah kelompok juga bisa terbangun karena ciptaan. Seperti halnya identitas individu yang terbentuk karena interaksi mereka secara sosial, begitu pula halnya identitas kelompok. Mereka yang suka sepakbola, pasti mengenal banyak nama klub atau kesebelasan, baik di dalam maupun luar negeri. Contoh lain adalah organisasi peserta didik di sekolah. Identitas sebagai organisasi peserta didik merupakan jati diri yang terbentuk atau dibentuk. Lebih tepatnya difasilitasi oleh pihak sekolah. Bangsa dan negara adalah sebuah kelompok sosial. Setiap bangsa memiliki identitasnya masing-masing. Begitupun juga negara. Dasar, simbol, bahasa, lagu kebangsaan, serta warna bendera menjadi salah satu penanda sebuah negara. Sebagai kelompok, negara juga terbentuk secara sosial. Negara Indonesia dibentuk atas dasar perjuangan rakyatnya, baik yang dilakukan melalui berbagai medan pertempuran maupun upaya diplomasi di meja perundingan.
Baca Juga: Menganalisis Isi Produk Perundang-Undangan
Pancasila, Identitas Bangsa
Indonesia
Meski Ir. Soekarno yang menyampaikan pidato Pancasila pada 1 Juni
1945, tetapi lima dasar tersebut bukanlah identitas presiden pertama saja.
Kelimanya merupakan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila,
tidak ada Indonesia. Begitupun sebaliknya. Identitas Indonesia adalah
Pancasila. Keduanya seperti dua sisi mata uang.
Darimana identitas Pancasila itu berasal?
Seperti berulangkali disampaikan Ir. Soekarno, dirinya bukanlah penemu
Pancasila. Ia hanya menggali Pancasila dari bumi nusantara. Sebagai bangsa yang
berciri Pancasila, maka sikap, pikiran, dan tindakan manusia Indonesia haruslah
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jangan sampai Pancasila selesai sebagai
sebuah jargon, tetapi tidak terimplementasi dalam sikap dan perbuatan.
“Di Pulau Buangan jang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan
waktu berdjam-djam lamanja merenung dibawah pohon kaju. Ketika itu datanglah
ilham jang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup
jang sekarang dikenal dengan Pantjasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku
mentjiptakan Pantjasila. Apa jang kukerdjakan hanjalah menggali tradisi kami
djauh sampai ke dasarnja dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara jang
indah.” [Cindy Adams, 1966, 300]
Tentang
hal ini, Wakil Presiden kita pertama, Mohammad Hatta telah mengingatkan
bagaimana kita memaknai Pancasila. Hal tersebut ia sampaikan melalui pidato
pada peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional
Jakarta. Pancasila, Bung Hatta mengatakan, “…tidak boleh dijadikan amal di
bibir saja,” karena jika demikian, “…berarti pengkhianatan pada diri sendiri.”
Bung Hatta menambahkan, “Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan
diamalkan dengan perbuatan.” (Hatta: 1978, 21).
"Pancasila
tidak boleh dijadikan amal di bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri
sendiri. Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan
perbuatan. Sejak 5 Juli 1959 negara kita kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945. Pembukaan dengan rumus Pancasila yang tertera di dalamnya berlaku lagi.
Tetapi seperti dikatakan tadi ideologi dan tujuan neara tidak berubah. Perubahan
dalam Pembukaan hanya memperkuat kedudukan Pancasila sebagai pedoman dan
mempertajam tujuan negara."
Pancasila
adalah identitas yang digali dari kearifan serta kekayaan nilai bumi Indonesia.
Agar terus hidup sebagai ciri bangsa, Pancasila tidak sekadar dihafalkan,
tetapi juga diamalkan. Pancasila adalah nilai yang hidup sebagai jati diri
bangsa. Pada sebuah bangsa yang majemuk, Pancasila adalah jawaban yang tepat
sebagai jati diri. Sejarah bangsa Indonesia adalah kisah tentang sebuah negara
yang majemuk. Keberagaman tidak bisa kita ingkari sebagai fakta sosiologis
sekaligus sebagai kenyataan alami yang memang demikian adanya. Pancasila
kemudian membingkainya dan sekaligus memayungi keberagamaan tersebut.
Masyarakat yang berbeda latar belakang agama, etnis ataupun suku, bisa hidup di
dalam bingkai tersebut.
Dengan
kekayaan yang dimiliki, Pancasila menjadi identitas bersama yang mengakui
perbedaan-perbedaan di dalamnya. Meskipun di satu sisi keragaman adalah
tantangan, tetapi, jika dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi kekuatan
yang saling menopang satu dengan lainnya. Pancasila hadir sebagai identitas
yang mengakomodir dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut.
Baca Juga: Hubungan Antar Peraturan Perundang-undangan
Sumber:
Abdul Waidl dkk. 2021. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMA/ SMK Kelas X. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jalan Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta Pusat
Tidak ada komentar