Menganalisis Isi Produk Perundang-Undangan
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi. UUD NRI Tahun 1945 menerjemahkan ke dalam norma-norma hukum yang mendasar. Keduanya menjadi pegangan dalam hidup bernegara: tujuan bernegara dan bagaimana menyelenggarakan pemerintahan agar memenuhi tujuan bernegara.
Seluruh peraturan perundang-undangan di
Indonesia harus merujuk kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Tidak boleh
mengabaikan apalagi bertentangan. Seperti halnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dalam Pancasila, dan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, keduanya
memberikan perlindungan kepada agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Maka, peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya tidak boleh
bertentangan terhadap keduanya. Undang-Undang sampai Peraturan Daerah; tidak
boleh menuliskan norma hukum yang melarang kebebasan beragama.
Kedua, peraturan perundang-undangan yang
ada di bawah UUD NRI Tahun 1945 juga harus merujuk pasal atau ayat yang ada
dalam UUD NRI Tahun 1945. Hal demikian berlaku secara hierarikis dalam urutan
perundang-undangan. Sehingga sebuah Peraturan Daerah, misalnya, bukan hanya
harus merujuk kepada UUD NRI Tahun 1945 tetapi harus pula merujuk kepada
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang ada di atasnya, yang sejalur
perihal yang diatur.
|Isi Produk Peraturan Perundang-undangan| |
Di dalam melihat peraturan perundang-undangan, selain keharusan terkait dan merujuk kepada peraturan perundang-undangan di atasnya, hal ketiga, yang penting juga adalah isi peraturan perundang-undangan itu sendiri. Selain isinya harus searah dan mendukung terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya, norma hukum yang ada harus dapat dilaksanakan. Istilah yang digunakan harus jelas dan tidak menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam. Isi peraturan perundang-undangan juga harus selaras dengan upaya mendorong pemerintahan yang melayani kepentingan rakyat, memperhatikan rasa keadilan masyarakat, dan tidak berpeluang digunakan untuk korupsi.
Apabila ketiga hal di atas tidak terpenuhi, maka sebuah peraturan perundang-undangan dapat digugat. Jika peraturan berbentuk undang-undang, maka dapat digugat (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan selain undang-undang, dapat dilayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Ketiga hal di atas, sekaligus merupakan alat sederhana untuk menganalisis sebuah produk perundang-undangan. Berikut adalah contoh analisis terhadap undang-undang. Dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Baca Juga: Produk dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Analisis
Undang-Undang Desa
Reformasi kebijakan tentang desa akan terlihat dengan jelas apabila kita sudah memahami konten dari UU Nomor 6 tahun 2014 tersebut, dan akan tampak lebih jelas apabila kita bandingkan dengan peraturan tentang desa sebelumnya. Aspek perubahan fundamental dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tersebut akan jelas jika dibandingkan dengan kebijakan tentang desa yang termuat dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya. Namun sebelum mengulas perbedaan substansi peraturan perundangan tentang desa tersebut, bisa dicermati lebih dalam mengenai perbedaan konsep desa yang lama menurut UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 72/2005 dengan konsep desa baru menurut UU Nomor 6 tahun 2014 menurut Eko (2015: 17-18) seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel: Perbedaan Desa Lama dan Baru dalam Perspektif UU Desa
|
Desa
Lama |
Desa
Baru |
Payung
Hukum |
UU
No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 |
UU
No. 6/2014 |
Asas
Utama |
Desentralisasi-Residualitas |
Rekognisi-Subsidiaritas |
Kedudukan |
Sebagai
organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota
(local state government) |
Sebagai
pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local
self governement |
Posisi
dan Peran Kab/Kota |
Kabupaten/kota
mempunyai kewenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. |
Kabupaten/kota
mempunyai kewenangan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus
desa; termasuk mengatur dan mengurus bidang urusan desa yang tidak perlu
ditangani langsung oleh pusat. |
Delivery
Kewenangan dan Program |
Target |
Mandat |
Politik
Tempat |
Lokasi:
Desa sebagai lokasi proyek dari atas |
Arena:
Desa sebagai arena bagi orang desa untuk menyelenggarakan pemerintahan,
pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan |
Posisi
dalam Pembangunan |
Objek
|
Subjek |
Model
Pembangunan |
Government
driven development atau community driven development |
Village
driven development |
Pendekatan
dan Tindakan |
Imposisi
dan mutilasi sektoral |
Fasilitasi,
emansipasi dan konsolidasi |
Pada periode sebelum reformasi, perbedaan
mencolok mengenai kebijakan tentang desa tampak pada UU Nomor 5 tahun 1979,
yaitu ada upaya orde baru untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan
kedudukan pemerintahan desa. Undang-Undang ini mengatur desa dari segi
pemerintahannya yang berbeda dengan pemerintahan desa/marga pada awal masa
kolonial yang mengatur pemerintahan menurut adat-istiadat yang sudah ada. Dalam
UU Nomor 5 tahun 1979, pengakuan terhadap hak ulayat dan hak rekognisi
(pengakuan) terkurangi. Akibatnya hilangnya nilai-nilai keberagaman tentang
desa di nusantara berdasarkan asal-usulnya.
Harus diakui bahwa tereduksinya otonomi
desa terjadi sejak diimplementasikannya UU Nomor 5 tahun 1979. Kebijakan
penyeragaman (uniformitas) baik mengenai nama, bentuk, susunan dan kedudukan
Pemerintahan Desa, mengakibatkan hancurnya sistem sosial masyarakat desa yang
menjadi penunjang bagi upaya penyelesaian masalah sosial di desa. Kebijakan
yang bersifat asimetris rezim Orde Baru telah merombak secara drastis desa dan
semua perangkatnya menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua
kebijakan secara top down. Desa mengalami pergeseran peran dan
kedudukan, dari entitas sosial yang bertumpu pada nilai-nilai budaya dan
tradisi sesuai dengan hak asal-usulnya berubah menjadi unit pemerintahan
yang merupakan perpanjangan tangan bagi kepentingan rezim yang berkuasa.
Baca Juga: Hubungan Erat Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945
UU Nomor 6 tahun 2014 lebih mengedepankan
peran desa secara otonom dengan keunikan hak-hak asal-usulnya (rekognisi).
Sedangkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 menunjukkan bahwa nuansa peran
pemerintah masih dominan, meskipun telah diimplementasikan konsep
desentralisasi sesuai nafas otonomi daerah. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004, desa
hanya berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat maupun provinsi dan
kabupaten/kota, dengan otonomi yang lebih luas. Sehingga desa hanya sebagai
lokasi dimana program-program pemerintah diimplementasikan, sementara peran
masyarakat desa sendiri kurang diperhatikan. Namun dalam UU Nomor 6 tahun 2014
tersebut, peran desa sebagai wilayah otonom dijamin, sehingga desa dapat
menjalankan perannya sesuai dengan asal-usul desa (rekognisi) dan adat istiadat
yang sudah berjalan dari nenek moyang, penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa
(subsidiaritas), keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan,
musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan
keberlanjutan. Dalam implementasi UU Nomor 32 tahun 2004, maka ditetapkanlah
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Pengaturan tentang desa pasca reformasi
1998 mengalami degradasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005.
Kemudian, melalui Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, harapan
besar mengenai otonomi desa tumbuh kembali, dan dibayangkan akan tumbuh seperti
masa sebelum 1979. Sayangnya, otonomi desa justru tereduksi akibat dari
meluasnya ekspansi otonomi daerah. Semakin luas ekspansi otonomi daerah,
bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless,
kehilangan kewenangan, meskipun secara ekpslisit jelas memiliki otonomi asli.
Otonomi asli desa yang termuat dalam UU Nomor 22 tahun 1999, dengan meluasnya
otonomi daerah seketika itu pula berubah menjadi kabur.
Dalam perkembangannya, PP Nomor 72 tahun
2005 tersebut naik kelas menjadi UU Nomor 6 tahun 2014. Dengan berlakunya UU
Nomor 6 tahun 2014, desa memperoleh eksistensinya kembali dan memiliki
kedudukan yang signifikan dalam entitas pemerintahan daerah. Dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, desa seakan bangun kembali
setelah mengalami tidur panjang (1979-1999) dan setalah mengalami pelucutan
sebagian besar otonomi aslinya pasca reformasi (1999-2013). Undang-Undang Nomor
6 tahun 2014 tentang Desa setidaknya akan menjawab permasalahan-permasalahan di
atas.
Substansi yang terkandung dalam batang
tubuh UU Nomor 6 tahun 2014 memuat tentang pengaturan desa yang didasarkan pada
pengakuan terhadap hak asal-usul (rekognisi), penetapan kewenangan berskala
lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa
(subsidiaritas), keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan,
musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan
keberlanjutan. Dengan substansi yang terkandung dalam batang tubuh UU Nomor 6
tahun 2014 tersebut, maka ditegaskan Kembali otonomi asli desa yang sejak awal
telah dikoreksi oleh UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004. Dengan kembalinya
otonomi asli desa tersebut diharapkan dapat tercapai salah satu tujuan
kemandirian desa, yaitu terciptanya Self Governing Community
(Kemandirian Masyarakat Desa). Berdasarkan hak asal usul yang diakui dan
dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi Pasal 18B ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945, desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya
masing-masing. Bahkan lebih dari itu, sangat dimungkinkan untuk tumbuhnya desa
adat di luar desa administratif.
Baca Juga: Hubungan Antar Peraturan Perundang-undangan
Selanjutnya, pemerintah desa diharapkan
mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi pengaruh kekuasaan otonomi
daerah yang mengancam seluruh sendi kehidupan pemerintah dan masyarakat desa.
Dengan diakuinya otonomi asli desa, diharapkan pemerintah desa juga bisa lebih
otonom dan mandiri tidak menjadi alat birokrasi rezim pemerintah yang berkuasa
saja. Local Self Government (Kemandirian Pemerintah Desa) yang menjadi
salah satu pilar kemandirian desa yang hendak dicapai melalui UU Nomor 6 tahun
2014 diharapkan dapat terwujud. Peluang itu akan semakin besar dengan
diberlakukannya UU Nomor 6 tahun 2014 yang secara substansial megendung aspek
reformasi mengenai pengurusan tentang desa.
Ada banyak lagi hasil analisis yang bisa
kita temukan melalui dunia digital. Analisis dilakukan oleh berbagai pihak,
baik dari dosen maupun mahasiswa, ada juga yang berasal dari lembaga
pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Salah satu yang dihasilkan dalam
analisis BPHN adalah “Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai Sistem Pendidikan
Nasional”. Analisis ini tertuju kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Analisis dilakukan mencakup setidaknya
empat hal:
a. Analisis
dan evaluasi berdasarkan ketepatan jenis perundang-undangan;
b. Analisis
dan evaluasi berdasarkan kejelasan rumusan ketentuan;
c. Analisis
dan evaluasi berdasarkan potensi disharmoni dengan peraturan perundang-undangan
yang lain;
d. Analisis dan evaluasi berdasarkan efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan.
Asah Otak PPKn
Sumber:
Abdul Waidl dkk. 2021. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMA/ SMK Kelas X. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jalan Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta Pusat
Tidak ada komentar