Paham Kebangsaan, Nasionalisme, dan Menjaga NKRI
Materi Bagian 4 Unit 1
Tegak berdirinya Indonesia sesungguhnya dibangun
oleh ide-ide besar dari para pendiri bangsa (the founding fathers). Di
antara ide itu, tentang paham kebangsaaan, yang dalam rapat atau sidang-sidang
sebelum Indonesia merdeka, seperti pada BPUPK 29 Mei-1 Juni 1945, terjadi
diskusi atau tukar pikiran mengenai apa yang dimaksud dengan bangsa dan
kebangsaan itu?
Perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh bangsa
dalam sidang BPUPK tentang makna kebangsaan terlihat dalam pidato Soekarno, 1
Juni 1945. Pendapat Soekarno menjadi titik tolak dalam merumuskan konsep
kebangsaan dalam konteks Indonesia.|Ilustrasi Pidato Ir. Soekarno|
Sumber: Pinterest
Dalam sidang BPUPK, perbedaan pandangan mengenai suatu persoalan dapat dilihat dari dua kelompok, antara kubu nasionalis dan islamis. Karena itu, Soekarno memberikan penekanan bahwa apa yang disampaikannya saat sidang, atas dasar sebagai bagian dari bangsa, yang tidak memiliki tendensi untuk menolak atau mendukung salah satu kubu. Sebagaimana terlihat secara eksplisit dalam petikan pidatonya, Soekarno menggarisbawahi dua hal. Pertama, tentang identitas dirinya yang juga merupakan penganut agama Islam, sehingga pendapat-pendapatnya tidak dimaksudkan untuk menyerang atau menolak pandangan tokoh Islam. Kedua, meletakkan paham kebangsaaan sebagai dasar tegak berdirinya sebuah negara.
Saya
minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah
saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta
kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya
katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan.
Soekarno, jika kita baca isi pidatonya dengan
seksama, akan terlihat, di satu sisi ia setuju dengan Ki Bagus Hadikusumo,
sedang di sisi lain, ia justru tidak setuju kepada tokoh-tokoh perumus konsep kebangsaan seperti Ernest Renan dan
Otto Bauer.
Sebagai
saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia,
bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk
tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia,
dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita
dasarkan negara Indonesia.
Soekarno
mengajukan pertanyaan: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Upaya menjawab pertanyaan yang diajukannya itu, di sinilah terlihat wawasan kebangsaan Soekarno yang begitu luas. Ia pada
awalnya ingat dan mengutip pendapat tokoh terkemuka bernama Ernest Renan dan
Otto Bauer.
Menurut
Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri
bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre
ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka
yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang
merasa dirinya bersatu. aus
chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto
Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena
persatuan nasib).
Namun demikian, Soekarno tidak sepenuhnya setuju
dengan pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer. Sebab, kata Soekarno, tatkala Otto
Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap
baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Geopolitik adalah merujuk pada hubungan antara
politik dengan teritori dalam skala lokal, nasional, dan internasional; ilmu
atau studi mengenai penyelenggaraan negara yang kebijakannya dikaitkan dengan
masalah-masalah geografi wilayah atau daerah pada suatu bangsa.
Soekarno pada akhirnya setuju dengan Ki Bagus
Hadikusumo dan Munanan, sekaligus menegaskan, bahwa kebangsaan itu erat
hubungannya dengan persatuan antara “orang dan tempat”.
Perhatikan penjelasan Soekarno berikut:
Kemarin,
kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang
“Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat,
tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang
dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang
ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat
orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya,
“l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat,
tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu?
Tempat
itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat
peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan di mana”kesatuan- kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, jikalau
ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan
satu kesatuan.
Pada
peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2
lautan
yang
besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua
Asia dan
benua
Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,
Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan
lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.
Persatuan antara orang dan tempat itulah yang
melahirkan apa yang lazim disebut “Tanah Air kita” atau “tumpah darah kita”.
Maka
manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon
saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah
s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah
air kita!
Maka
jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan
buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto
Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensembles”, tidak cukup definisi Otto
Bauer “aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu.
Menurut
Soekarno, bangsa atau kebangsaan itu tidak berdasarkan satu daerah tertentu,
contohnya Pulau Jawa, tetapi mencakup semua pulau, semua etnis, dalam teritorial
Indonesia. Ini menjadi landasan pentingnya persatuan Indonesia, mencintai dan
turut menjaga keutuhan NKRI.
Rakyat
ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan
hanya
satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa “le
desir d”etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada
satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre
ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Pendek
kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau- pulau Indonesia dari
ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!
Dari sanalah, pemahaman yang substansial terhadap makna kebangsaan, mengantarkan pada sikap nasionalisme yang menghendaki rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib. Dalam pemahaman yang lebih luas, nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat dan bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, wilayah, serta kesamaan cita-cita, dan tujuan. Dengan demikian, masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri.
Baca Juga: Belajar Dari Kekayaan Tradisi
Sumber:
Abdul Waidl dkk. 2021. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMA/ SMK Kelas X. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Jalan Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta Pusat
Tidak ada komentar